Petualangan Pertama Seorang Pemula dengan API Assertion: EchoAPI vs Postman
Bagi pemula yang pertama kali menambahkan asersi dalam pengujian API, pengalaman di Postman dan EchoAPI sangat berbeda. Perbandingan jujur ini mengungkap bagaimana pendekatan berbasis kode versus visual membentuk jalan belajar yang berlainan.
Pertama kali aku mengirim request API dan responsenya langsung whoosh terkirim tanpa error, rasanya seperti ditakdirkan menjadi full-stack engineer pilihan semesta.
Aku scroll ke bawah untuk menikmati kemenangan itu…
dan langsung disambut tembok JSON penuh field yang bahkan kelihatan marah sama kepercayaan diriku.
Bro… kenapa field-nya BANYAK banget?!
Gimana caranya tahu respons ini bagus, jelek, atau terkutuk?
Yang aku mau cuma ngecek apakah ada konten seksis, gelap, atau hal-hal yang nggak boleh masuk aplikasiku.
Baca satu per satu? Tidak. Aku bukan tipe orang yang sekuat itu.
Jadi aku mulai cari jalan lain.
Perhentian Pertama: EchoAPI
1. AI-generated Assertions
Setelah kirim request, aku iseng menggerakkan kursor di area respons —
tiba-tiba muncul sebuah tombol:
Assertion Gen
“Eh? Ini tombol apa nih?”

Refleks aku klik.
AI langsung menghasilkan beberapa assertion, lengkap dengan penjelasan dalam bahasa Inggris tepat di atasnya.

Buat pemula yang bahkan baru ngerti boolean itu apa, rasanya ini seperti dipeluk teknologi modern.
Lebih kerennya lagi:
muncul titik hijau di bagian “Post-response.”
Pas aku klik, semua assertion yang dibuat AI sudah ditempel di sana.

Setelah kirim request lagi, di bagian respons muncul tab Test Result.
Di sanalah hasil test-ku,
jelas, rapi, mudah dibaca.
Tanpa panik.

Jujur?
Untuk orang yang nggak bisa nulis skrip, nggak paham sintaks, bahkan nggak tahu harus melihat ke mana—ini penyelamat hidup.
EchoAPI seolah berkata:
“Santai bro, gue bantu.”
Dan aku menghargai itu banget.
2. Fitur Paling Ramah Pemula: Visual Assertions
Setelah tahu AI-generated assertions ada di “Post-response,”
aku lanjut eksplorasi. Aku buka dropdown, dan nemu menu:
Add Task → Assertion

Jelas. Bersih. Tidak dikubur di balik 17 tooltip dan ritual pengorbanan.
Saat aku klik Assertion, muncul kotak “expression,”
dan di bawahnya:
- semua field dari respons API
- opsi perbandingan
- nilai yang diharapkan

Otakku langsung paham.
“Oh… semuanya ini sesuai isi JSON asli.
Nggak perlu nebak-nebak. Udah disediain.”
Aku pilih error, set ke eq, dan isi false.

Saat itu, aku tersadar:
Ini bukan kode. Ini bahasa manusia.
Bahasa Inggris, jelas, tanpa trauma JavaScript.
Kirim request lagi.
Buka tab Test Result — dan…
Assertion-ku lulus.

Reaksiku:
“Tunggu…
Itu aku?
Aku beneran bikin assertion?
Padahal baru kemarin tau arti JSON.”
Lalu aku sadar:
UI EchoAPI itu intinya:
“Kamu mikir aja. Sintaks biar aku yang urus.”
Buatku, ini bukan cuma berhasil ngetes.
Ini aku mengerti apa itu assertion.
EchoAPI rasanya seperti berkata:
“Hei, pemula API.
Sini duduk.
Biar aku ajarin tanpa bikin kamu nangis.”
Pengalaman lembut. Tanpa penderitaan.
Tapi sekarang… mari lihat bagaimana Postman memperlakukan pemula.
Perhentian Kedua: Postman
(alias tempat kepercayaan diriku sempat meninggal)
Pertama, aku bahkan nggak tahu di mana area untuk assertion.
Setelah googling:
Pergi ke Script.
Langkah 1: Script → Post-response
Aku klik… dan langsung dingin.
Postman suruh aku nulis kode.
Kode JavaScript.
Untuk assertion.

Sebagai pemula API, reaksiku:
“Terima kasih, aku pulang dulu.
JavaScript? Tidak.
Postman, kamu dendam apa sama pemula?”
Ini pertama kalinya aku merasakan “Assertion Anxiety™.”
Saat hampir menyerah, aku lihat ikon super kecil di pojok.

Kenapa tombolnya sekecil dosa?
Bahkan bayangannya lebih besar dari tombolnya.
Langkah 2: Postman AI — titik harapan
Aku klik.
Ternyata jendelanya seperti chatbot.
Aku ketik:
“Generate some assertions plz.”
Dan Postman AI menjawab dengan…
Tem—bok—kode.
Novel JavaScript.

Aku cuma bisa bengong:
“Ini apa??
Assertion-nya sebelah mana??
Kok kayak pull request engineer senior??”
Tetap aku tekan approve, ya udahlah.
Kode ditempel ke Script, lalu AI kasih penjelasan.
Secara teori aku paham…
secara praktik: tidak.

Langkah 3: Nyari test result (kayak nyari biji emas)
Setelah kirim request, aku cari hasil test.
Tapi tidak ada.

Klik ke sana—ke mari—ke ujung dunia digital.
Akhirnya kutemukan Test Results, tersembunyi lebih dalam dari lore Elden Ring.

Saat hasilnya muncul, reaksiku:

Berfungsi… tapi tidak ramah pemula.
Tidak memuaskan.
Tidak intuitif.
Kata yang muncul:
Kalah.
Bonus: Menu Script di EchoAPI
Setelah trauma kecil di Postman Script, aku kembali ke EchoAPI dan buka menu “Script.”

Ternyata ada tiga pilihan:
- nulis kode manual
- memakai preset script
- generate script pakai AI

Aku klik beberapa preset sekadar coba-coba.

Pikiranku cuma:
“Entah ini apa,
tapi kalau bisa jalan, saya anggap kemenangan.”
Aku kirim request — dan langsung muncul test result.
Saat itu, aku benar-benar merasakan:
EchoAPI bukan cuma alat.
EchoAPI ingat bahwa pemula itu ada.
Perbandingan Jujur dari Seorang Pemula
| Fitur | Postman | EchoAPI |
|---|---|---|
| Cara bikin assertion | Tulis JavaScript | Ekspresi visual, tanpa kode |
| Hasil AI | Kode panjang seperti novel teknis | Assertion yang manusiawi + penjelasan jelas |
| Lokasi test result | Tersembunyi dalam 5 lapisan UI | Langsung terlihat |
| Kurva belajar | Terjal dan menakutkan | Lembut, mudah dipahami |
| Dampak emosional | “Kayaknya API bukan buat aku…” | “OMG… akhirnya paham!” |
Kesimpulan
Postman itu kuat — para engineer berpengalaman jelas suka.
Tapi dari perspektif pemula sejati:
- Assertion di Postman adalah hambatan.
- Assertion di EchoAPI adalah jembatan.
Visual assertion dan penjelasan dari AI di EchoAPI rasanya seperti seseorang menyalakan lampu di ruangan gelap.
Postman membuatku ragu.
EchoAPI membuatku percaya diri.